Bisnis.com, Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan masih mendapat tekanan jual dari investor asing, karena pelaku pasar masih hawkish terhadap kebijakan The Fed dan keraguan terhadap ketahanan keuangan Indonesia. 

Asing saat ini terus mencatatkan penjualan bersih sehingga menyulitkan IHSG untuk bangkit dalam waktu dekat, kata kepala riset NH Corindo Securitas di Indonesia, Lisa Camellia Suryanata. Sentimen pasar regional, khususnya data CPI AS yang lemah, tidak mampu menopang rebound IHSG. 

“Tren pasar saat ini harus diakui berasal dari Amerika Serikat, terutama terkait kebijakan moneter The Fed yang masih membawa retorika negatif yang kuat. Selain itu, pasar saham Indonesia tampaknya mulai kehilangan daya tariknya bagi asing sehingga menimbulkan keraguan. ujarnya kepada Lisa Bisnisi, Kamis (13/6/2024): “Ketahanan Fiskal Indonesia.” 

Lisa menjelaskan skeptisisme investor asing terkait dengan fleksibilitas fiskal Indonesia, sekaligus menyambut baik skema makan siang dan susu gratis yang diperkenalkan Presiden terpilih Prabowo. Setelah itu, susunan Kabinet dan roadmap rencana aksi pemerintah akan menjadi fokus para pelaku pasar, terutama pengendali siapa yang akan menjadi Menteri Keuangan Indonesia selanjutnya. 

Di sisi lain, IHSG semakin mendapat tekanan dari sentimen internal seperti kebijakan FCA atau lelang full cost. Lisa mengatakan, IHSG menunjukkan Financial Conduct Authority (FCA) terpuruk terhadap saham-saham pemain utama indeks kapitalisasi seperti PT Barito Renewables Energy Tbk. (Otak). 

Pasalnya, pasar mengkhawatirkan masalah likuiditas pada saham BREN. Lisa mengatakan, tak heran jika pergerakan akhir-akhir ini begitu fluktuatif dan IHSG berada dalam kondisi fluktuatif. 

“Pada saat yang sama, di sektor lain yang lebih stabil, seperti saham keuangan atau saham blue chip lainnya, tidak ada insentif yang benar-benar menopang IHSG,” ujarnya. 

Secara teknikal, Lisa mengaku masih ragu apakah IHSG sudah mendapatkan support di sekitar posisinya saat ini, namun potensi penurunan di area 6800-6750 terbatas karena indikator RSI divergence yang positif. 

Artinya, meski akhir-akhir ini IHSG terus mencetak posisi terendah baru, namun momentum pembelian nampaknya mulai membaik, lanjutnya. 

Penurunan suku bunga The Fed hari ini cenderung lebih rendah dari ekspektasi, kata Community Head Indo Premier Securities (IPOT) Anja Septianos. Pasalnya, pasar awalnya memperkirakan akan turun 3 kali dalam satu periode tahun ini. 

“Jadi dengan adanya pemotongan 1x dan pandangan Jerome Powell bahwa diperlukan konfirmasi penurunan suku bunga lebih lanjut, ini untuk pasar,” kata Angak kepada Bisnis. 

Angga menjelaskan, hingga saat ini investor asing masih banyak yang menjual saham perbankan, bukan hanya karena suku bunga yang dikenakan The Fed, tapi juga karena melemahnya rupee. Jika suku bunga lebih panjang, investor akan bersaing untuk berinvestasi pada aset yang berisiko lebih rendah seperti obligasi, katanya. 

Sementara untuk IHSG sendiri, Angga memperkirakan akan bergerak di kisaran 6.700-6.800 dan 7.100 hingga akhir tahun. 

“Untuk kembali ke angka 7.400, diperlukan katalis fundamental yang positif untuk kembali ke level tersebut,” ujarnya. 

Rekomendasi saham bulan Juni 2024

Melihat kondisi suku bunga saat ini, melemahnya rupee, dan tekanan jual investor asing, beberapa saham menarik untuk dicermati. Saham-saham ini, seperti bank dan beberapa saham, dinilai terlalu rendah. 

Angga merekomendasikan saham-saham perbankan yang valuasinya relatif rendah, serta saham-saham yang memberikan dividen setiap tahunnya. Saham ini dapat dicicil. 

“Ada bank yaitu BBRI, BBCA, BBNI, BMRI, bahkan ADRO dan PTBA yang rutin membagikan dividen,” ujarnya. 

Investor juga sebaiknya menghindari saham-saham yang memiliki liabilitas tinggi dalam laporan keuangannya karena memiliki suku bunga tinggi, seperti saham telekomunikasi dan pertambangan yang memiliki liabilitas besar. 

Dalam konteks yang sama, Lisa juga mengatakan akan fokus pada saham-saham perbankan seperti blue chips BBRI, BMRI, BBNI dan BBCA yang secara teknikal akan rebound. 

“Untuk sektor primer lihat MEDC dan lihat juga harga minyak mentah,” kata Lisa. 

——–

Catatan: Berita ini tidak dimaksudkan untuk mendorong Anda membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab atas segala kerugian atau keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembacanya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel