Bisnis.com, JAKARTA – Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang mendapat izin khusus dari pengusaha wilayah pertambangan (WIUPK). Pemerintah
Ketua Presidium PMKRI Tri Natalya Urada membenarkan usulan pemerintah PMKRI untuk mengelola tambang tersebut belum dibahas. Kalaupun berupa usulan, PMKRI belum tentu menerimanya.
“Yang terpenting, kita tidak menginginkan independensi PMCRI sebagai organisasi mahasiswa yang mengarahkan dan memperjuangkan kepentingan industri pertambangan. Kita akan terus berdiskusi dan mengkritisi berbagai persoalan yang timbul dari kiprah industri pertambangan. Mari kita lakukan ini. ,” kata Tree, Rabu (5/6/2024) dalam siaran persnya.
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Peraturan tentang Organisasi Keagamaan Penerima KMDB Tahun 2024 Nomor 25 Pemerintah Republik Kazakhstan Ayat 1 Pasal 83A PP 96/2021 diubah tentang Penyelenggaraan kegiatan usaha. diatur. Aktivitas. Dengan ketentuan tersebut, kini organisasi keagamaan bisa memiliki KMDB.
Jika mengacu pada Pasal 75 UU tersebut. IUPK tanggal 3 Oktober 2020 tentang industri pertambangan dan batubara akan diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMN), atau Badan Usaha Swasta dengan prioritas yang dilakukan melalui lelang BUMN.
“Kami melihat terdapat inkonsistensi dan/atau tumpang tindih antara UU Minerba dengan PP Nomor 25 Tahun 2024. “Pada saat yang sama, hal ini dapat menimbulkan lebih banyak konflik di masa depan,” kata Tri.
Mengutip data Jaringan Pembinaan Pertambangan (Jatam) yang menunjukkan, saat ini terdapat 7.993 izin pertambangan dan penggalian (minerba) dengan luas 10.406.060 hektare. Tree mengatakan operasi tersebut memiliki dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan belum pulih.
Oleh karena itu, jika PMKRI menangani masalah pertambangan, kita akan melanggengkan permasalahan yang ada dan sangat paradoks dengan apa yang kita lakukan selama ini yaitu menjaga kedaulatan lingkungan hidup, ujarnya.
PMKRI memperkirakan rencana ini juga akan menimbulkan konflik agraria-komunal baru dan meningkatkan kesenjangan sosial. Menurut OJK, pada tahun 2023, pertambangan menimbulkan 32 konflik agraria yang melibatkan 48.622 keluarga dari 57 desa di lahan seluas 127.525 hektare.
Di sisi lain, PMKRI kekurangan sumber daya manusia dan kemampuan teknologi untuk mengelola tambang. Namun PMKRI sebagai salah satu elemen masyarakat sipil memiliki komitmen dan pendekatan yang berkesinambungan untuk melakukan check and balance terhadap berbagai anomali kebijakan dan kesenjangan lainnya yang dapat merugikan masyarakat, khususnya di industri ekstraktif seperti pertambangan.
“Kami berharap pemerintah menghentikan rencana tersebut dengan segera merevisi PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pertambangan dan Pertambangan Batubara,” kata Tri.
Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan Channel WA