Bisnis.com, BATAM – Belakangan ini banyak bank perekonomian rakyat (BPR) yang bermasalah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencabut izin usahanya. Jumlah bank akan berkurang dan modalnya akan diperkuat.

Wakil Ketua OJK Mirza Adityaswara mengatakan, setiap tahun sekitar 5-10 ACA ditutup karena kegagalan operasional akibat aktivitas kriminal dalam negeri dan pinjaman bodong.

“Waktu saya di LPS 5-10 ACA setiap tahunnya tutup. Rata-rata karena penipuan, pemalsuan, dan sebagainya. Sekarang sama saja. Makanya ACA akan kita perkuat,” ujarnya dalam siaran pers. konferensi rombongan dengan redaksi media di Batam, Sabtu (8/6/2024).

Salah satu cara untuk memperkuat ACA adalah dengan memastikan bahwa hanya orang-orang yang serius saja yang mampu membeli ACA. Untuk menjamin hal tersebut, salah satu caranya adalah dengan menambah modal ACA. Jika modal tidak dapat dipenuhi, diperlukan merger atau akuisisi.

“Kami akan menerapkan kemitraan, termasuk merger dan akuisisi. Jumlah ACA akan kami kurangi dari 1.500 menjadi 1.000,” kata Mirza.

Selain penguatan, Kepala Departemen Perbankan dan Pembangunan OJK Eddy Manindo Harahap juga semakin memperkuat ACA dengan menambah permodalan.

Tahun ini, OJK meminta ACA membayar kewajiban modal minimum Rp 6 miliar sebelum 31 Desember 2024 dan ACA Syariah (BPRS) sebelum 31 Desember 2025.

Nilai minimum tersebut diatur dalam Peraturan OJK (POJK) No. 05/POJK.03/2015. “Kita beri waktu sembilan tahun sejak 2015,” kata Eddy dalam Group Discussion bersama redaksi media di Batam, Sabtu (8/6/2024).

Persyaratan modal minimum ACA diatur dalam Roadmap ACA/BPRS 2024-2027 yang diluncurkan OJK pada 20 Mei 2024. Sesuai UU No. 4/2023 tentang PPSK, ACA dan BPRS akan berperan.

Peran tersebut mencakup kemampuan memperoleh uang melalui komitmen pertama menjadi pelaku sistem pembayaran. “Dalam artian ACA itu seperti bank umum, tapi ACA harus diberdayakan terlebih dahulu,” kata Eddy.

Menurut dia, penguatan permodalan perlu dilakukan. “Yang penting ukurannya, kalau kecil tidak bisa berkembang, tingkatkan kualitasnya. Makanya kita masukkan ke ACA tahun 2024, dan akhir tahun 2025 untuk BPRS modal minimal Rp 6 miliar,” ujarnya. dia berkata.

Eddy menambahkan, jumlah ACA dan BPRS saat ini sangat banyak, namun didominasi oleh aset-aset kecil dengan kinerja yang baik. Selain itu, posisi ACA mendapat tekanan dari atas dan bawah.

Di bagian bawah ACA berhadapan dengan Fintech Peer to Peer (P2P) Lending, sedangkan di bagian atas ditekan oleh bank-bank umum yang mempunyai modal dan skala usaha besar.

“ACA tidak boleh menjadi negara yang kompetitif dengan P2P Fintech karena ACA lebih eksis dibandingkan P2P Fintech. Selain itu, ACA mempunyai tantangan dari sisi tata kelola, produk, alat, dan layanan,” kata Eddy.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel