Bisnis.com, JAKARTA – Dolar AS menguat seiring pelaku pasar mengurangi konsumsi di negara berkembang sembari menunggu keputusan suku bunga data layanan Kanada dan Amerika Serikat (AS). 

Franc Swiss dan yen mendapat keuntungan dari sentimen ini, dengan yen mengalami kenaikan lebih lanjut setelah berita bahwa Bank of Japan (BoJ) akan mengurangi pembelian obligasi pada pertemuan kebijakan minggu depan. 

Sementara itu, yen turun 0,2% menjadi 155,27 di awal perdagangan Asia, setelah naik 1% semalam terhadap euro di 168,74, kenaikan terbesar sejak Jepang memasuki pasar uang sebulan. 

“Kami memperkirakan akan melihat kenaikan jangka pendek lebih lanjut pada yen menjelang keputusan kebijakan BOJ pada 14 Juni,” kata ahli strategi Rabobank Jane Foley dalam catatannya kepada nasabah, dilansir Reuters pada Rabu (5/6/2024). 

Data menunjukkan bahwa upah riil di Jepang turun pada tanggal 25 April 2024 karena inflasi melebihi pertumbuhan upah. Selanjutnya, yen menjadi mata uang G10 dengan kinerja terburuk tahun ini. Deputi Gubernur BOJ Ryozo Himino mengatakan bank sentral harus lebih berhati-hati terhadap dampak melemahnya yen terhadap perekonomian dan inflasi.

Untuk mata uang lainnya, franc Swiss menguat terhadap dolar untuk sesi keempat, mendekati rata-rata pergerakan 200 hari di 0,8902 per dolar. 

Euro stabil di 1,0878 di sesi Asia, sementara sterling turun ke 1,2770. Dolar Australia pun melemah menjadi 0,6443 jelang rilis data produk domestik bruto (PDB) Australia.

Dolar Selandia Baru stabil di 0,6173, sedangkan dolar Kanada di 1,3678 per dolar. Pasar memperkirakan peluang 75% penurunan suku bunga sebesar 25 kali di Kanada.

Pasar negara berkembang menghadapi masalah dalam beberapa hari terakhir. Rupee India jatuh ke level terendah dalam tujuh minggu setelah Narendra Modi terpilih kembali, jauh lebih rendah dari perkiraan.

Sementara Rupee melemah 47,50 poin atau 0,29% hingga diperdagangkan pada Rp 16.267,5.

Chief Financial Officer Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi mengatakan, kondisi moneter di kawasan Asia bergerak karena ekspektasi penurunan suku bunga yang lebih tinggi akibat lemahnya data AS dan melemahnya nilai tukar dolar. 

Hal ini menyebabkan para pedagang memperkirakan peluang 52,1% penurunan September 2024 sebesar 25 basis poin. Area ini 47% lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya. 

“Perubahan ekspektasi ini terjadi setelah data PMI hari Senin menunjukkan manufaktur AS mengalami kontraksi pada bulan Mei,” kata Ibrahim dalam risetnya setiap Minggu (4/6).

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan Channel WA