Bisnis.com, JAKARTA – Selama 16 tahun terakhir, kinerja industri teh nasional stagnan dan menurun. Produksi menurun, ekspor tidak membaik, perkebunan tidak bertambah, bahkan keuntungan perusahaan perkebunan semakin merugi dari tahun ke tahun. Padahal industri tersebut merupakan bagian penting dalam perolehan devisa Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 menunjukkan produksi teh di Indonesia mencapai 122.700 ton, turun 1,6% (124.700 ton) dari tahun 2022. Jawa Barat tetap menjadi penghasil teh terbesar, menyumbang 82.100 ton (66,92%) dari produksi nasional. Rata-rata penurunan produksi teh dalam 5 tahun terakhir adalah sekitar 0,11% per tahun.

Tren ini bertepatan dengan penurunan penjualan teh di Indonesia. Dalam kurun waktu lima tahun (2018-2022), data BPS menunjukkan ekspor teh pada tahun 2018 sebesar 49.038 ton pada tahun 2019, menurun menjadi 42.811 ton pada tahun 2020, sebesar 45.265 ton pada tahun 2021, sebesar 42.6204 ton dan meningkat. adalah 42,62042 ton. Kembali ke tahun 2000-2018, rata-rata penurunan tahunan adalah 3,1%. Situasi ini menyebabkan pangsa penjualan teh di Indonesia menurun dari 8% pada tahun 2000 menjadi 1,6% pada tahun 2018.

Hal ini patut dipertanyakan karena di sisi lain Indonesia mengimpor teh dari negara lain. Pada tahun 2018, impor teh sebanyak 14.922 ton, kemudian meningkat menjadi 16.326 ton pada tahun 2019 dan menurun menjadi 14.909 ton pada tahun 2020 dan pada tahun 2021 menjadi 10.609 ton.

Kemudian pada tahun 2022 impor sebanyak 10.883 ton. Salah satu alasan mudahnya impor teh adalah karena tingkat harga impor hanya 20% lebih rendah dibandingkan tingkat yang ditetapkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebesar 40%.

Oleh karena itu, dapat dikatakan industri teh nasional semakin lesu. Agar tidak tertunda maka diperlukan kebijakan, strategi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk pembangunan yang bersifat bottom-up.

Industri teh nasional terus terpuruk akibat permasalahan pengelolaan industri mulai dari air hingga air. Hal di atas bermula dari membiarkan dunia saling tumpang tindih, akibatnya konflik dan pertikaian dunia tidak bisa dihindari. Kemudian mengkonversi lahan perkebunan, seperti kasus kereta cepat Jakarta-Bandung, atau menjadikan perkebunan lain seperti kelapa sawit sebagai tempatnya.

Tren konversi ini terus mengurangi luas lahan budidaya. Pada tahun 2001, luas areal budidaya teh di Indonesia meningkat menjadi 150.872 hektar, dan pada tahun 2018 tersisa 104.420 hektar. Jika tingkat konversi tahunan adalah 2,30%.

Kendala berikutnya adalah rendahnya produktivitas tanaman akibat dominasi teh tanaman kecil yang tidak menggunakan benih yang lebih baik dan lambatnya regenerasi tanaman. Keadaan ini diperparah dengan ditemukannya perkebunan teh, khususnya perkebunan teh swasta, yang dihuni oleh masyarakat yang tidak mematuhi aturan, artinya dalam satu hektar terdapat sedikitnya 10.000 pohon teh.

Permasalahan lainnya, kesalahan dalam proses pemetikan juga berdampak pada rendahnya hasil rebung teh. Menurunnya kualitas teh yang dihasilkan mungkin disebabkan oleh kesalahan dalam proses pemilihan. Selain itu, kualitasnya menurun karena proses pengolahan yang dilakukan tidak sesuai dengan standar kerja.

Isu lain yang masuk dalam daftar tersebut adalah perpajakan, yang sejak tahun 2014 pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) perkebunan sebesar 10%. Ketentuan ini hampir bersamaan dengan putusan pengadilan Agus No. 70P Tahun 2013, mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No. Hari ke-31 tahun 2007 yang pada awalnya dibebaskan dari pajak pertambahan nilai atas empat produk pertanian strategis: kopi, teh, karet, dan kakao.

Kita tahu betul bahwa PPN akan menaikkan harga. Kalau harga di negara lain tetap, sebaliknya di Indonesia karena PPN. Dengan harga yang lebih tinggi, ekspor akan menurun dan hal ini akan menyebabkan harga lebih kompetitif.

Namun di pasar internasional, Indonesia menghadapi kendala untuk bergabung dengan Uni Eropa (UE). Menurut Peraturan Komisi Eropa (EC) 1146/2014, teh yang diekspor ke negara anggota UE harus mengandung antrakuinon (AQ) kurang dari 0,02%, tetapi Indonesia lebih dari 0,02%. Tentu saja, satu-satunya produk yang memenuhi kriteria tersebut adalah PTPN VIII.

Permintaan teh global diperkirakan akan terus meningkat. Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia di luar pasar dalam negeri. Dengan beragamnya produk dan gaya hidup sehat, peluang untuk memenuhi permintaan pasar terbuka lebar. Oleh karena itu, diperlukan upaya dan kebijakan strategis pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan industri teh dalam negeri.

Harus ada pedoman yang jelas dan efektif yang selaras dengan kerangka dan pengembangan lembaga yang jelas dan efektif. Selain itu, insentif pajak untuk mengurangi beban usaha yang berpartisipasi akan mengurangi biaya produksi, terutama untuk kebun masyarakat. Selain itu, pengendalian kualitas hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional.

Terakhir, upaya ekspansi dan integrasi harus memastikan efektivitasnya. Seharusnya BUMN Perkebunan Teh, PTPN, berperan lebih besar, jangan tergoda untuk menjadikannya sesuatu yang dianggap untung besar.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA channel