Bisnis.com, Jakarta – Meningkatnya babak baru perang dagang AS-China diperkirakan akan memberikan tekanan pada inflasi di Negeri Paman Sam. Lantas, apa dampaknya terhadap pedoman kebijakan suku bunga Federal Reserve?

Kolumnis Reuters Jamie McGeever mengatakan babak baru perang dagang AS-Tiongkok akan menempatkan The Fed dalam posisi sulit jika kenaikan tarif impor dari Tiongkok lebih berdampak pada lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi dibandingkan tekanan pada harga impor.

Pemerintahan Presiden Joe Biden minggu ini memberlakukan tarif baru terhadap impor senilai US$18 miliar, setelah tarif yang diterapkan mantan Presiden Donald Trump pada tahun 2018-2019 terhadap impor Tiongkok senilai lebih dari US$100 dipertahankan.

“Tiongkok hampir pasti akan merespons dengan tindakan serupa, sehingga memicu ketakutan inflasi,” tulis McGeever, seperti dilansir Reuters, Jumat (17/5/2024).

Namun penelitian menunjukkan bahwa tarif juga akan berdampak negatif terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja, dan Wall Street. Hal ini diperkirakan akan memicu respons The Fed untuk melonggarkan kebijakannya.

Makalah tahun 2021 berjudul “Proteksionisme Perdagangan dan Pekerjaan Manufaktur AS” yang ditulis oleh Chunding Li, Jing Wang, dan John Hawley menemukan bahwa tindakan proteksionis mengurangi lapangan kerja di sektor manufaktur.

Kehilangan pekerjaan akan meningkat jika AS menjadi mitra dagang untuk bereaksi. Model para ekonom menunjukkan bahwa dalam kasus tindakan sepihak AS terhadap impor Tiongkok, tingkat tarif sebesar 30%, 45% dan 60% akan mengurangi perdagangan masing-masing sebesar 1,3%, 1,8% dan 2,15%.

Dalam skenario pembalasan Tiongkok, tarif sebesar 30%, 45%, dan 60% akan mengurangi lapangan kerja manufaktur AS masing-masing sebesar 2,6%, 3,3%, dan 3,8%. Ini berarti 300.000 hingga 850.000 pekerjaan akan hilang.

“Hal ini menunjukkan bahwa keinginan AS untuk menyelamatkan lapangan pekerjaan di sektor manufaktur melalui langkah-langkah perlindungan perdagangan mungkin tidak akan tercapai,” tulis surat kabar tersebut menyimpulkan.

Dampak besar

Moody’s Analytics mencatat bahwa tarif impor barang-barang Tiongkok pada tahun 2018-2019 tidak berdampak positif pada lapangan kerja manufaktur AS dan perang dagang yang diakibatkannya mengakibatkan hilangnya 300.000 pekerjaan di AS secara keseluruhan.

Ryan Haas dari lembaga pemikir Brookings Institution menulis bahwa perang dagang dengan Tiongkok memukul keras perekonomian AS karena hilangnya lapangan kerja, pajak regresif terhadap konsumen akibat kenaikan biaya impor, dan tekanan signifikan terhadap pasar saham AS.

Ia mencontohkan penelitian tahun 2020 yang dilakukan oleh New York Fed dan Columbia University yang menemukan bahwa ekuitas merugi 6% atau setara US$1,7 triliun akibat perang dagang AS-Tiongkok pada masa Trump menjabat.

Jika penurunan saham AS sebesar 6% terjadi saat ini, kapitalisasi pasar indeks S&P 500 diperkirakan turun sebesar US$2,65 triliun. Dengan valuasi saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan 2018-2019, pasar diperkirakan akan lebih rentan terhadap koreksi yang mendalam.

“Pengalaman tahun 2018-2019 menunjukkan bahwa mungkin juga terdapat dampak tidak langsung yang negatif, termasuk pengetatan kondisi keuangan, penurunan sentimen bisnis, dan peningkatan ketidakpastian kebijakan perdagangan,” tulis ekonom Goldman Sachs bulan lalu.

Mereka memperkirakan bahwa setiap kenaikan tarif impor tertentu sebesar 1 poin persentase akan mengurangi PDB sebesar 0,13% jika Tiongkok tidak melakukan pembalasan, dan sebesar 0,15% jika Beijing melakukan pembalasan.

Mengenai inflasi, mereka menghitung bahwa setiap kenaikan 1 poin persentase pada suku bunga efektif akan meningkatkan Indeks Harga Konsumen (CPI) inti lebih dari 0,1%, meskipun guncangan pada tingkat harga ini akan meningkatkan inflasi selama satu tahun namun kemudian menurun dari tahun ke tahun. -tahun. -tahun (tahun).

Lihat berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel