Business.com, JAKARTA – Menginjak 10 tahun kepemimpinan Presiden di Istana Negara, rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) tak pernah mendekati 12,2% seperti janjinya pada Pilpres 2019.

Jika diperhatikan, tren penurunan tarif pajak justru terjadi ketika kantong pemerintah semakin bertambah untuk penerimaan pajak.

Saat Joko Widodo (Jokowi) pertama kali menjabat pada tahun 2015, penerimaan pajak sebesar Rp1.240,42 triliun dengan rasio 10,76% terhadap PDB. Sedangkan pada tahun 2023, pajak berhasil menghimpun Rp 2.154,2 triliun, namun rasionya hanya 10,2%.

Tahun pertama pemerintahan Jokowi mencatat rasio pajak sebesar 10,76% terhadap PDB pada tahun 2015, menurut data Kementerian Keuangan. Turun dari tahun 2014 yang sebesar 10,85%

Penurunan tersebut berlanjut hingga 9,89% pada tahun 2017, kemudian meningkat menjadi 10,24% pada tahun 2018. Peningkatan ini hanya bersifat sementara Tarif pajak kembali turun menjadi 8,33% pada tahun 2020, bahkan menjadi pencapaian terendah dalam dua era kepemimpinan Jokowi.

Pandemi Covid-19 menjadi penyebab turunnya tarif pajak, serta menurunnya perekonomian negara secara global.

Jokowi kemudian mengeluarkan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) alias Ambedkar Pajak Jilid II pada tahun 2022 dan program tersebut berhasil menaikkan tarif pajak hingga 10,39%. Tanpa PPS, tarif pajak 2022 hanya mencapai 10,08%

Selain itu, tarif pajak akan dipertahankan di atas 10% antara tahun 2022 dan 2023 karena penurunan harga global.

Pendapatan negara Indonesia diproyeksikan tumbuh sebesar 31,09% (year-on-year/yoy) pada tahun 2022 dan tumbuh sebesar 5,25% pada tahun 2023. Sayangnya, hal ini tidak membantu menaikkan tarif pajak.

Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) telah menetapkan tarif pajak sebesar 10,7%-12,3% dari PDB pada tahun 2020-2024.

Berbeda dengan era SBY ketika terjadi booming komoditas yang bertepatan dengan krisis global pada tahun 2008, rasio pajak langsung naik hingga mencapai rekor tertinggi yaitu 13,31%.

Dewan Perwakilan Rakyat (DRP) juga menyoroti capaian tarif pajak era Jokowi yang turun atau tetap stabil dibandingkan era SBY.

Anggota Komisi

“Kalau kita bandingkan 10 tahun, pemerintahan Pak Jokowi dibandingkan dengan SBY, apple to apple, sudah jauh menurun, tarif pajak pada pemerintahan ini paling rendah pada pemerintahan SBY,” kata Primus dalam pertemuan. Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu

Menurutnya, potensi perpajakan dari aktivitas digital layak untuk disalurkan ke kas negara.

Pada Juli 2024, penerimaan pajak dari sektor usaha ekonomi digital seperti Google dan Pinzol tercatat sebesar Rp 26,75 triliun. Namun perlu diingat, pajak tersebut berasal dari transaksi yang tidak mencerminkan seluruh aktivitas bisnis dan keuntungan perusahaan digital raksasa tersebut. Bayangkan risiko keuangan

Sektor ekonomi digital merupakan “air” pajak yang tidak perlu karena dijalankan oleh pekerja informal.

Dana Moneter Internasional (IMF) juga tercatat tidak memberikan rekomendasi mengenai strategi pemerintah dalam pengumpulan pajak dari sektor ini.

Pengamat pajak Fazri Akbar dari Indonesia Tax Analysis (CITA) menyoroti saran IMF untuk meningkatkan pendapatan, namun tidak menyentuh tantangan digitalisasi ekonomi.

Fajri mengatakan pada Minggu (11/8/2024), “Rekomendasi IMF sama sekali tidak menyentuh tantangan digitalisasi ekonomi. Tantangan digitalisasi dan perekonomian informal akan menjadi lebih penting.”

Mengingat situasi saat ini, IMF sama sekali belum menyinggung bagaimana mengatasi tantangan perekonomian informal, kebangkitan ekonomi bayangan. Faktanya, tantangan digitalisasi dan perekonomian informal akan menjadi lebih penting di masa depan.

Sejauh ini, IMF mendorong pemerintah Indonesia untuk memperluas basis pajak penghasilan orang pribadi (PPH), menurunkan ambang batas PKP dan UMKM, serta memberlakukan cukai bahan bakar.

Memang usulan tersebut dapat meningkatkan belanja negara setidaknya sebesar 6,1% PDB atau Rp 1.200 triliun (PDB 2023 Rp 20.892,4 triliun).

Faktanya, banyak kendala serta untung dan rugi ketika pemerintah ingin meluncurkan kebijakan perpajakan baru seperti cukai plastik dan minuman manis dalam kemasan (MBDK).

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel