Bisnis.com, Jakarta – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) merilis sederet catatan kinerja pemerintah di bawah Presiden Jokowi.

Sekretaris Jenderal Himi Angawira memuji pemerintah atas sejumlah pencapaian selama satu dekade terakhir. Pertama, meski dunia menghadapi banyak tantangan seperti perang dagang dan pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi masih dapat tumbuh stabil di angka 5%.

Kedua, membangun infrastruktur selalu menjadi prioritas pemerintah dengan tujuan meningkatkan efisiensi komunikasi dan logistik.

Ketiga, reformasi besar-besaran pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi, termasuk perampingan perizinan melalui Sistem Penyerahan Seragam Online (OSS) dan Undang-Undang Cipta Kerja.

Keempat, kemiskinan dan pengangguran menurun meski sempat meningkat akibat pandemi Covid-19. Program bantuan sosial dan pemberdayaan ekonomi juga menjadi fokus perhatian pemerintah.

Namun, Anggawira juga menyoroti tiga hal yang masih menghadapi tantangan. Pertama, ancaman deindustrialisasi tercermin dari menurunnya kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Ini menunjukkan tren deindustrialisasi. “Ini persoalan serius karena manufaktur merupakan pendorong utama penciptaan lapangan kerja dan nilai tambah perekonomian,” ujarnya seperti dikutip, Kamis (15 Agustus 2024).

Kedua, meskipun pertumbuhan ekonomi stabil, namun belum cukup inklusif, dan permasalahan ketimpangan pendapatan masih terus terjadi. Pertumbuhan ekonomi juga tidak dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat.

Ketiga, kualitas investasi impor belum mencapai tingkat optimal dalam menciptakan lapangan kerja berkualitas dan mendorong inovasi teknologi.

Terkait implementasi kebijakan, Angawira juga mengatakan sinkronisasi kebijakan di pusat dan daerah masih menjadi kendala.

Meskipun infrastruktur dalam negeri membaik, biaya logistik di Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan negara tetangga. Dia mengatakan biaya logistik yang masih tinggi sehingga menurunkan daya saing produk Indonesia.

Selain itu, Angawila juga menyoroti beberapa kebijakan di masa pemerintahan Jokowi yang dirasa belum maksimal. Salah satunya adalah Skema Pengampunan Pajak dan Pengungkapan Sukarela (PPS).

Ia memperkirakan program-program yang dilakukan pemerintah hanya mampu meningkatkan penerimaan negara dalam jangka pendek, namun belum cukup efektif untuk memperluas basis pajak.

“Efektivitasnya dalam memperluas basis pajak jangka panjang masih kontroversial.” “Ada kekhawatiran bahwa pembayar pajak hanya mendapatkan keuntungan dari skema ini tanpa meningkatkan kepatuhan pajak dalam jangka panjang,” katanya.

Ia antara lain menyoroti program pembagian beban yang dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dalam merespons Covid-19 dan pemulihan ekonomi negara. Rencana tersebut dapat mempunyai dampak jangka panjang terhadap inflasi dan keberlanjutan fiskal di masa depan.

“Meskipun kebijakan ini menyediakan likuiditas yang diperlukan, terdapat kekhawatiran mengenai dampak jangka panjangnya terhadap inflasi dan keberlanjutan fiskal,” jelasnya.

Ia menambahkan, kebijakan terkait subsidi energi masih perlu mendapat perhatian. Ia percaya bahwa meskipun tujuannya adalah untuk mengurangi beban masyarakat, alokasi yang tidak tepat dapat menyebabkan distorsi pasar dan menghambat investasi pada energi terbarukan.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News dan WA Channel